Meski indsutri otomotif tengah lesu akibat krisis, bisnis mobil bekas tetap saja bergairah. Itulah yang kini dialami Rudy Setiawan, (43), salah satu pemilik show room Rajawali Gemilang Mandiri Auto yang beroperasi di Jl. LDK Raya No. 19A Jakarta Selatan. Pasalnya, bisnis mobil bekas yang dilakoninya sejak 20 tahun lalu tidak pernah lesu. Dari waktu ke waktu, bisnis itu tetap menunjukkan gairahnya.
Rudy mengaku, bahwa jumlah transaksi di show room mobil bekasnya tidak pernah turun. Trend permintaannya terbilang stabil dan cenderung meningkat. “Sejauh ini, tidak ada masalah dengan bisnis yang kita jalani. Kondisinya lancar-lancar saja. Kalau penurunan hanya terjadi saat krisis ekonomi 1998 saja. Setelah itu cenderung meningkat dan relatif baik,” jelasnya saat diwawancarai Duit!.
Menurut Rudy, bisnis ini relatif aman meski dibayangi krisis sekali pun. Boleh saja terjadi krisis. Namun, minat masyarakat untuk memiliki mobil tetap tinggi. Hal itu bisa dilihat dari populasi kendaraan roda empat yang terus meningkat. “Kalau daya beli menurun, larinya pasti ke mobil-mobil second, karena harga belinya relatif murah dan lebih terjangkau,” papar Rudy. Hingga kini, kondisi show room mobil bekas, umumnya masih dalam kondisi baik. Para pelakunya tidak banyak mengeluhkan penurunan transaksi jualnya. “Sekarang stock mobil di setiap show room malah terus ditingkatkan. Rata-rata mobil yang dipajangnya sampai memenuhi seluruh ruangannya, begitu juga dengan show room ini, kita selalu meningkatkan stock-nya,” tegas Rudy.
Rudy menjelaskan, bahwa geliat bisnis mobil bekas ini sudah terjadi sejak lama. Sebelum krisis 1998, bisnis ini sempat mencatat prestasi yang cukup gemilang. Namun di saat krisis, bisnis ini sempat terpukul akibat daya beli masyarakat yang menurun hingga titik terendahnya. Untungnya, di saat kondisi ekonomi mulai membaik, kondisinya lebih cepat pulih. “Malah permintaan mobil bekas makin meningkat. Berbeda dengan bisnis mobil baru yang hingga kini masih bisa dibilang goyah,” jelasnya.
Meskipun demikian, Rudy menegaskan, bahwa bisnis mobil bekas bukan sekedar bisnis yang hanya laris di masa krisi. Dalam kondisi stabil pun, prospek bisnis ini masih tetap menjanjikan. Alasannya, show room mobil bekas selalu menawarkan harga miring dengan kualitas yang baik dan layak. “Harga jual yang ditawarkannya jauh di bawah harga mobil-mobil
baru, tapi kondisi mobilnya masih relatif baik,” papar Rudy. Bagi Rudy, hal itu membuat bisnis ini menjadi sangat menarik. Ia menganggap, bahwa bisnis mobil bekas selalu memberikan harapan kepada para pelaku bisnisnya. Di show room Rudy sendiri, jumlah penjualan per bulannya mencapi 5-6 unit, dengan harga rata-rata di atas Rp 200 juta. “Jumlah itu bisa dibilang lumayan. Karena mobil yang kita jual, mobil-mobil eropa yang harga jualnya relatif tinggi. Kalau di show room mobil-mobil Jepang jumlah penjualnnya bisa lebih banyak lagi,” jelas Rudy.
Menurut Rudy, Jenis mobil yang ditawarkannya, terdiri dari berbagai type produk Mercedes Benz, BMW, Volvo, Peugeot, berikut sejumlah mobil keluaran eropa lainnya. Ia menjelaskan bahwa keuntungan bersih yang bisa didapat dari penjualan mobil bekas berada dikisaran 5% dari harga jual per unitnya. Namun, jumlah persentasenya bergantung pada kemampuan penjualnya saat menentukan harga. “Kalau mobilnya kita beli dengan harga murah, dan berhasil terjual dengan harga tinggi, keuntungannya bisa lebih tinggi lagi,” tegasnya.
Rudy menjelaskan bahwa peluang di bisnis ini masih sangat terbuka lebar. Hanya saja perlu ketelitian berikut pengetahuan yang memadai mengenai dunia otomotif. Hal itu diperlukan untuk proses pengecekan kondisi mobilnya. Apakah masih dalam kondisi layak atau tidak. Lebih lagi, untuk mengetahui taksiran harganya. Apakah sesuai atau tidak. “Setidaknya harus ada orang yang mengerti soal itu. Kalau tidak, nantinya bisa salah perhitungan, malah bisa jadi rugi,” papar Rudy.
Hal itu dianggap penting, karena proses pengecekannya harus bersifat menyeluruh. Mulai dari kondisi mesin, body mobil, aksesoris, hingga ke surat-suratnya. Sebab, untuk mengetahui kelayakannya, tidak cukup sekedar melihat tampilan fisiknya saja.
Sedangkan untuk sistem pengelolaannya, bisa melalui berbagai macam cara. Bisa dengan sistem beli-jual maupun dengan sistem jual titipan. Menurutnya, kedua sistem ini sudah lazim digunakan para pelaku bisnis mobil bekas. Untuk stock mobilnya, bisa juga melalui kerjasama dengan dealer-dealer penjual mobil baru. Tujuannya untuk mendapatkan mobil-mobil kreditan yang gagal bayar. Mobilnya bisa dibeli untuk dijual kembali. “Tapi, ada beberapa dealer yang memang melelang mobil-mobil sitaannya. Kita tinggal memanfaatkan moment-nya saja,” jelas Rudy.
Agar penjualan mobilnya bisa maksimal, saat menentukan lokasi show room, harus mengetahui letak stratesisnya. Menurut Rudy, umumnya, setiap wilayah yang sudah di tempati sejumlah show room, sudah terpetakan sesuai spesifikasi mobil yang dijualnya. “Kalau di wilayah Jakarta Barat dan Selatan, tempatnya show room mobil-mobil Eropa, kalau tempatnya mobil-mobil Jepang, ada di sekitar Jakata Timur dan Pusat. Dan tidak menutup kemungkinan, di daerah lain pun ada pemetaan seperti itu,” papar Rudy.
Menurut Rudy, mine set masyarakat sudah terbentuk. “Kalau mau cari mobil bekas keluaran eropa, biasanya, langsung datang ke sekitar Lebak Bulus, Fatmawati, atau ke Radio Dalam (red. Jakarta Selatan). Mereka sudah tahu bahwa tempat itu tempatnya show room-show room yang menjual mobil-mobil eropa. Kalau mereka ingin membeli mobil Jepang, pasti pergi ke tempat yang lainnya,” jelas Rudy.
Rudy menegaskan, untuk memulai bisnis ini, tidak harus dengan modal uang dalam jumlah besar. Anda bisa memulainya dengan menjadi mediator untuk orang-orang yang ingin menjual mobil. Menurut Rudy, banyak juga orang yang sukses dari jalur seperti itu. “Mereka menjadi mediator sekedar mengumpulkan modal saja. Fungsinya, sebagai penghubung antara penjual dan pembeli mobil,” tegas Rudy. Menurut Rudy, yang paling penting harus ada kemauan dan keberanian untuk memulainnya. “Peluangnya sudah ada. Tinggal berani atau tida?” tegasnya. (Ruby Babullah Afsa, Majalah DUIT No. 07/IV/Juli 2009)